Tidak terbantahkan, hidup di kota besar termasuk kota penyangga Jakarta sangat mahal. Lahan yang semakin berkurang membuat harga tanah dan properti membumbung tinggi. Banyak masyarakat yang tinggal di perumahan menengah biasa dengan kondisi dinding berhimpitan sebelah-sebelahan (terkadang jika tetangga berbicara agak keras, suaranya pun bisa terdengar sampai ke kamar kita) rumah susun atau bahkan kontrakan petak. Apalagi kalo pas apes, dapet tetangga yang ga pengertian, amsyong dah. Sukanya karaokean... ga kenal waktu. Mau tidur siang ga nyenyak, malem pun jam 10 tetap musik itu masih terdengar, bahkan pernah ada cerita teman mengalami tetangga sebelahnya setel musik jam 4 pagi. OMG.....apakah dia merasa hidup sendiri di dunia ini? Belum lagi masalah jalan yang dipakai untuk tempat parkir, bikin susah tetangganya keluar masukin mobil, bahkan mobil yang lewat harus sangat berhati-hati, dengan kondisi jalan yang sudah sempit, dipakai setengah badan jalan untuk parkir mobil hu...
"The power of emak emak" Semakin sering saja kita mendengar kalimat itu. Mirisnya, kalimat itu lebih sering melekat pada perilaku emak-emak yang menyalahi tata tertib atau etika. Entah beberapa kali kita melihat tata cara berkendara yang salah dari emak-emak, kemudian viral dan muncul kalimat tersebut dalam kolom komentar. Atau yang terakhir viral tentang sosok ibu-ibu yang duduk selonjoran di KRL, kalimat "the power of emak emak" pun mengkuti kejadian tsb. Apa yang salah? Saya bukan ahli tata bahasa, jadi sebelumnya saya mohon maaf jika dalam tulisan ini saya salah. Hanya saja, saya menilai kalimat "the power of emak emak" itu lama kelamaan menjadi suatu pemakluman atas perilaku si emak-emak yang salah. Saya mengerti bahwa itu semacam kata kiasan. Tapi.. (sekali lagi ini menurut saya) efek yang ditimbulkan menjadi satu pemakluman. Untuk keterampilan berkendara, laki-laki memang lebih cekatan karena struktur otak yang berbeda dengan wanita. Tapi ...